;

Cari Di Sini

Jumat, 04 Desember 2009

ADA FAPPASENG

ADA ADA FAPPASENG

* Dua kuala sappo, unganna panasae,Sibawa belona kanukue *

Artinya :
(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)

* Atutuiwi anngolona atimmu; aja' muammanasaianngi ri ja'e padammu rupa tau nasaba' mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau' madecennge riati maja'e nade'sa nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e. Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.

Artinya :
(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

* Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu'i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa'na, moloi ada napadapi.

Artinya :

(Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama,mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)
Pemerintahan Yang Baik

*Naiyya riasenge Funggawa,Maccai Na Malempu, Waraniwi Na Magetteng

Artinya :

( Pemimpin adalah :Yang Jujur,Berani dan Teguh dalam Pendirian )

* Naiyya riasennge maradeka, tellumi pannessai,
• Seuani, tenrilawai ri olona.
• Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
• Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau,lao ri ase, lao ri awa.

Artinya :

Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:
• pertama, tidak dihalangi kehendaknya;
• kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat;
• ketiga, Tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas danke bawah.
Itulah hak-hak kebebasan.

* Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

Artinya :

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

* Siri' emmi to riaseng tau, Majeppu Fada Taroi Alemu Siri, Narekko de’gaga siri’mu.inrekko siri.

Artinya :

( Karena Siri’ kita hidup, olehnya itu, lengkapilah dirimu dengan siri’,kalau tidak ada siri’mu, pinjamlah !)

*Makkadai Nene’ Mallomo: Naiyya riasengge"Ade' temmakeana' temmakke eppo"
(Kata Nene Mallomo: "Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu.")

*Taro ada Taro gau, Sisebbu ada Seddi Gau, Gau’e Mappannessa

Artinya :

( Perkataan dan Perbuatan harus sesuai, Seribu perkataan Satu Perbuatan, Perbuatan Yang nyata )

MOTIFASI BERPRESTASI

*Aja' mumaelo' ribetta makkalla ri cappa alletennge

Artinya :
(Janganlah mau didahului menginjakkan kaki di ujung titian.)

*Resopa natinulu, natemmanginngi malomo naletei pammase Dewata Seuwaee.

Artinya:
(Hanya dengan kerja keras dan ketekunan, sering menjadi titian rahmat Ilahi.)

*Akkellu peppeko mulao,a'bulu rompeko murewe'.

Artinya :
(Bergundul licinlah engkau pergi, berbulu suaklah engkau kembali).

*Onroko mammatu-matu napole marakkae naia makkalu

Artinya :
(Tinggallah engkau bermalas-malas hingga kelak datang yang gesit lalu menguasai)

*Temmasiri kajompie, tania ttaro rampingeng, naia makkalu.

Artinya :
(Tak malu nian si Buncis, bukan ia menyimpan penyanggah, ia yang memanjat)

KESETIAKAWANAN SOSIAL
(ASSIMELLERENG)


*"tejjali tettappere , banna mase-mase".

Artinya :
(kami tidak punya apa2 kecuali dengan kasih sayang)

*Iya padecengi assiajingeng:
• - Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;
• - sipakario-rio;
• - Tessicirinnaiannge ri sitinajae;
• - Sipakainge' ri gau' patujue;
• - Siaddappengeng pulanae.

Artinya :

(Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu:
• - Sependeritaan dan kasih-mengasihi;
• - Gembira menggembirakan;
• - Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar;
• - Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;
• - Selalu memaafkan.)
*Eppai rupanna padecengi asseajingeng:
• - Sialurusennge' siamaseng masseajing.
• - Siadampengeng pulanae masseajing.
• - Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau' sitinajae.
• - Sipakainge' pulannae masseajing ri sesena gau' patujue sibawa winru' madeceng.

Artinya :
( Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan:
1. - Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.
2. - Maaf memaafkan sekeluarga.
3. - Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak.
4. - Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik.)

KEPATUTAN
(APPASITINAJA)

*Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialau'i alau'e, ri parimanianngimaniannge, ri pariase'i ri ase'e, ri pariawai ri awae.

Artinya :

(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)

*Aja' muangoai onrong, aja' to muacinnai tanre tudangeng, de'tu mullei padecengi tana. Risappa'po muompo, ri jello'po muompo, ri jello'po muakkengau.

Artinya :

(Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah kamu mengia.)

*Duampuangenngi ritu gau sisappa nasilolongeng, gau madecennge enrennge sitinajae. Iapa ritu namadeceng narekko silolongenngi duampuangennge. Naia lolongenna ritu:a. narekko ripabbiasai aleta mangkau madeceng, mauni engkamuna maperri ri pogaumuiritu.b. Pakatunai alemu ri sitinajaec. Saroko mase ri sitinajqed. Moloi roppo-roppo narewee. Moloi laleng namatike nasanresenngi ri Dewata Seuwaeef. Akkareso patuju.

Artinya :

(Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah:
a. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.
b. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.
c. Ambillah hati orang sepantasnyad. Menghadapi semak-semak ia surut langkahe. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhanf. Berusahalah dengan benar.)

*Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa'na

Artinya :

(Serakah awalnya, menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.)

*Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae

Artinya :

(Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia)


Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung,
Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku,
Mette'kka tenribali, massadaka tenri sumpala.

Artinya :

(Gunung yang kokoh kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung Tidak ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa
Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang bisa menyanggah)


Toddo Puli Temmalara ri Wawang
Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng.

Artinya :

( Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran )


Sirebba tannga tessirebba pasorong Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.

Artinya :

(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,Kita saling menghidupkan karena kita
seia sekata,Saling mengangkat dantak saling menjatuhkan
Berbeda pendapat,tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)


Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata

Artinya :

(Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi).

Wassalam...!!


Thanks to'' www.rappang.com




Kamis, 17 September 2009

Koleksi Ucapan Lebaran

Selamat Hari Lebaran...... , marilah kita saling mengasihi n memaafkan...


Andai jemari tak sempat berjabat,andai raga tak dpt b'tatap
seiring beduk yg mgema,sruan takbir yg berkumandang
kuhaturkan salam menyambut hari raya idul fitri
jikak ada kata serta khilafku membekas lara mhn maaf lahir batin.
SELAMAT IDUL FITRI

Mawar berseri dipagi hari
pancaran putihnya menyapa nurani
sms dikirim pengganti diri
SELAMAT IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR BATHIN

Sebelum Ramadhan pergi
Sebelum Idul fitri datang
Sebelum operator sibuk
Sebelum sms pending mulu
Sebelum pulsa habis
Dari hati ngucapin MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Jika HATI sejernih AIR, jangan biarkan ia keruh
Jika HATI seputih AWAN, jangan biarkan dia mendung
Jika HATI seindah BULAN, hiasi ia dengan IMAN.
Mohon Maaf lahir dan batin

Menyambung kasih, merajut cinta, beralas ikhlas, beratap doa.
Semasa hidup bersimbah khilaf & dosa, berharap dibasuh maaf.
Selamat Idul Fitri

Melati semerbak harum mewangi
Sebagai penghias di hari fitri
SMS ini hadir pengganti diri
Ulurkan tangan silaturahmi
Selamat Idul Fitri

Sebelas bulan kita kejar dunia
kita umbar napsu angkara
Sebulan penuh kita gelar puasa
kita bakar segala dosa
Sebelas bulan kita sebar dengki dan prasangka
Sebulan penuh kita tebar kasih sayang sesama
Dua belas bulan kita berinteraksi penuh salah dan khilaf
Di hari suci nan fitri ini, kita cuci hati, kita buka pintu maaf
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin

Faith makes all things possible.
Hope makes all things work.
Love makes all things beautiful.
May you have all of the three.
Happy Iedul Fitri."

walopun operator sibuk n' sms pending terus,
kami sekeluarga tetap kekeuh mengucapkan
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin

Bila kata merangkai dusta..
Bila langkah membekas lara...
Bila hati penuh prasangka...
Dan bila ada langkah yang menoreh luka.
Mohon bukakan pintu maaf...
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Fitrah sejati adalah meng-Akbarkan Allah..
Dan Syariat-Nya di alam jiwa..
Di dunia nyata, dalam segala gerak..
Di sepanjang nafas dan langkah..
Semoga seperti itulah diri kita di hari kemenangan ini..
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Untuk lisan yg tak terjaga
untuk hati yg berprasangka
untuk janji yg tak ditepati
segala kekhilafan. minal aidin walfaizin mhn maaf lahir bathin

Waktu mengalir bagaikan air
Ramadhan suci akan berakhir
Tuk salah yg pernah ada
Tuk khilaf yg sempat terucap
Pintu maaf selalu kuharap
Met Idul Fitri

Walaupun Hati gak sebening XL dan secerah MENTARI.
Banyak khilaf yang buat FREN kecewa
kuminta SIMPATI-mu untuk BEBAS kan dari ROAMING dosa dan kita semua hanya bisa mengangkat JEMPOL kepadaNya yang selalu membuat kita HOKI
dalam mencari kartu AS selama kita hidup karena kita harus FLEXIbel untuk menerima semua pemberianNYA dan menjalani MATRIX kehidupan ini...
dan semoga amal kita tidak ESIA-ESIA...Mohon Maaf Lahir Bathin.

Satukan tangan,satukan hati
itulah indahnya silaturahmi
Di hari kemenangan kita padukan
keikhlasan untuk saling memaafkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir Batin

Andai jemari tak kuasa berjabat
setidaknya kata msh dpt terungkap
Dgn sgl kerendahan hati,
tulus hati memohon maaf SELAMAT IDUL FITRI MAAF LAHIR& BATHIN.

Beralas iklas, beratap doa, hidup ini bersimbah khilaf.
Berharap diri dibasuh maaf, Selamat Hari Raya Iedul Fitri
Taqoballahu Minna Waminkum Taqoballahu Yaa Kariim
Minal Aidzin Wal Faidzin
Mohon maaf lahir & batin

Fitrah kemanusiaan selalu gandrung akan kebenaran. Semoga kita selalu
berjalan di atas fitrah dalam mengatasi krisis bangsa. Selamat Idul
Fitri, maaf lahir dan batin.

When it's black turn white; when it's dark turn light; when a mistaken
turn forgiveness, eagle mengucapkan selamat Idul Fitri, mohon maaf
lahir dan batin.

Walaupun bukan yang pertama, harapannya kami yang tertulus dalam mengucapkan
Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.

Tiada pemberian yang terindah selain kata maaf. Tiada perbuatan yang
termulia selain memaafkan. Selamat Idul Fitri . Mohon
maaf lahir dan batin.

Kesempurnaan hanya milik Allah. Kesalahan dan kekhilafan adalah milik
kita semua. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.

I met Iman, Taqwa, Patience, Peace, Joy, Love, Health & Wealth today.
They need a permanent place to stay. I gave them your address. Hope they
arrived safely to celebrate Idul Fitri with you. May Allah bless you
and family.

Setelah Ramadhan pergi, setelah Idul Fitri datang, seusai network busy,
setelah sms pending mulu, pulsa habis diisi lagi. Hingga terlambat
ucapkan met lebaran.

Ternyata untuk mencapai kemenangan yang hakiki adalah saat dimana
sapa dan maafmu yang penuh keikhlasan mengiringi proses introspeksi
demi menggapai fitrah yang sarat keberkahan.

Bila kata jadi luka, bila ulah jadi lara, di hari yang fitri ini
izinkan saya memohon maaf dari hati yang paling dalam.

Andai tangan tak sempat berjabat, setidaknya seuntai kata masih dapat
terungkap. Mohon maaf atas segala khilaf. Selamat Idul Fitri , mohon maaf lahir dan batin.

Berkat kesadaran dan kesabaran, sampailah kita pada Hari Kemenangan.
Berkat ketulusan dan keikhlasan, kita saling bermaafan. Happy Iedul
Fitri. Bila ada langkah membekas lara, ada kata merangkai dusta,
ada sikap menoreh luka, di hari fitri ini tulus hati memohon maaf.

Putih kata, putih hati, lapangkan jiwa tuk sambut hari nan fitri, songsong
hari depan gemilang dengan tautan erat jemari. Mohon maaf lahir & batin

The time has come for every soul to purify heart for every man to begin
a new life & for us to let all mistakes forgiven & forgotten, amien.
Happy Idul Fitri.

Ketika bumi menjadi bayang-bayang surga, kedamaian dirasakan oleh semua
orang yang memiliki kebersihan jiwa dan kebeningan hati. Ketika meminta
maaf dan saling memaafkan tulus berasal dari kalbu iklhas.
Semoga fitri ini tetap terjaga sampai Ramadhan tahun depan.

Seiring takbir, tahlil dan tahmid menggema, izinkan kedua tangan
bersimpuh memohon maaf. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.

Ya Allah, Berkahilah saudaraku yang baik ini. Limpahkan rizkimu padanya.
Bahagiakanlah dia dan keluarganya. Mudahkanlah semua urusannya.
Terimalah ibadahnya. Amien.

Sruan Takbir m'iringi brlalux bln pnuh Berkah & Ampunan Kita pun kembal Fitri.
Tp Dosa & Khilaf hny bs trhps dg Maaf.
MINAL AIDIN WAL FAIDZIN MOHON MAAF LAHIR BATIN

Umat butuh dibangunkan lampu2 kebangkitan harus dinyalakan.
Dengan “kesadaran” yang kita tekadkan di bulan suci
semoga benar2 menjadi ruh baru penyusun batu peradaban tertinggi...

Melihat segalanya dengan hati yang bersih, tanpa mengharap pujian manusia2.
semoga menjadi Ramadhan yang berkah,& berdo’amengharap istiqamah di jalan-NYA.
Taqabalallahu Minna Waminkum...

“ Saatnya istirahat dalam pemuasan nafsu duniawi
Saatnya membersihkan jiwa yang berjelaga
Saatnya mensyukuri indahnya kemurahanNya
Saatnya memahami makna pensucian diri
bersama kita leburkan kekhilafan, dengan shaum mempertemukan kita dengan Keagungan Lailatul Qadar
dan kita semua menjadi pilihanNya untuk dikabulkan do'a - do'a dan kembali menjadi fitrah”

Tiada hari seindah Jumaat, tiada kata seindah zikir, tiada ibadah seindah solat,
tiada bulan seindah Ramadhan dan tiada hari dinanti yaitu hari nan fitri. Salam Ramadhan al mubarak dan Selamat Idul Fitri"

Selanjutnya......................

Rabu, 09 September 2009

La Madukelleng History

La Maddukkelleng
(lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo

Inilah La Maddukelleng :

LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714


La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda

La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.

Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.

La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.

Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo

Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo


http://id.wikipedia.org/wiki/La_Madukelleng

Selanjutnya.........................

Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe

Inilah La Maddukelleng :

LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714

La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda

La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.

Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.

La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan diantara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.

Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo

Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.

Selasa, 08 September 2009

Komodo National Park has successfully reached the 28 Finalists of the New7Wonders of Nature Campaign


Komodo National Park has successfully reached the 28 Finalists of the New7Wonders of Nature Campaign.

The Ministry of Culture and Tourism, Republic of Indonesia would like to express our sincere gratitude to the people of Indonesia and the rest of the world who has contribute their support for Komodo National in the first and second stage of the campaign during 2008 up to July 2009.

Today on the 21st of July 2009 at 12.07 GMT (19.07 WIB/GMT+07), the New7Wonders of Nature Foundation has announced the 28 Finalist (from over 440 participants) which will continue to compete in the final stage of the campaign until 2011 in order to be the Final 7 Wonders of Nature.

The Ministry of Culture and Tourism acting as "Komodo National Park Official Supporting Committee" will continue to support Komodo National Park by conducting various awareness campaign programs to encourage active participation from the people of Indonesia to support Komodo National Park as the New7Wonders of Nature.

Our struggle is not over yet, it’s actually just the beginning, now is the time to do something real for the sake of our nation and show the world our true Indonesia!

Support Komodo National Park.. Support your Indonesia!

Komodo National Park Official Suppoting Commitee
Ministry of Culture and Tourism
Republic of Indonesia


http://www.indonesia.travel

Sabtu, 05 September 2009

MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO



MENGULAS SEJARAH KEMERDEKAAN WAJO

Negeri Wajo adalah sebuah negeri yang sangat unik, ia tidak mengenal sistem pemerintahan yang otokratis, melainkan demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo, memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang Raja tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40 Orang). Rakyat yang dalam bahasa bugis disebut Pabbanua memiliki hak dan kebebasan yang tercetus dalam adek Ammaradekangenna to Wajoe.

Ikhwal pernyataan kemerdekaan orang Wajo, tercetus pada masa pemerintahan Puangnge Ri Timpengeng, jauh sebelum masa ke-Batara-an Wajo terbentuk. Kala itu tersebutlah sebuah negeri yang sangat subur yang kemudian diberi nama kerajaan Boli (cikal bakal kerajaaan Wajo).

Suatu ketika datanglah utusan raja Kedatuan Luwu bernama Opu Balitantre. Untuk menarik Widdatali, sejenis pajak tanaman, namun ketika ia tiba ditengah kerajaan tersebut, heranlah ia melihat rumah penduduk disana, yang tidak menyerupai rumah-rumah di Luwu, ataupun di Gowa. Sehingga ia menjadi ragu, sesungguhnya kerajaan yang didatanginya ini meng-hamba kepada imperum Luwu atau Gowa ?, Keraguan tersebut dijawab oleh Puangnge Ri Timpengeng, raja ke-2 Kerajaan Boli “Ia Taue engkae kkua …, tau kumanengmua jaji, arolanmi ritangnga, Nakko Lantimojong naseng mania’, assaleng Luwu’tu. Nakko Wawokaraeng naseng manai’, Mangkasa’itu”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang-orang yang ada disini adalah penduduk pribumi, mereka lahir disini. Mereka memilki hak untuk mengikut kepada siapa saja, jika mereka menunjuk Gunung Latimojong, berarti mereka orang Luwu, jika mereka menunjuk Gunung Bawakaraeng, berarti mereka orang Makassar.

Setelah Opu Balitanre bertanya pada khalayak yang ada di Kerajaan Boli, tidak satupun yang menunjuk Gunung Latimojong ataupun Gunung Bawakaraeng. Hal ini berarti, Orang-orang dikerajaan Boli, adalah orang merdeka, mereka tidak meng-hamba pada imperium Luwu maupun Gowa.

Inilah asas kemerdekaan awal orang Wajo sesungguhnya. Bahkan Menurut keterangan Andi Makkaraka pada tahun 1968, pada masa pemerintahan Puannge Ri Lampullungen, raja sebelum Puangnge Ri Timpengeng asas kemerdekaan itu sudah ada, dengan bunyi “RI LALENG TAMPU’ MUPI TO WAJO’E NAMARADEKA”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, orang Wajo sudah merdeka”
Dalam catatan lain, pesan-pesan kemerdekaan Wajo, berulang-ulang ditegaskan oleh para pemimpin dan cendikiawan Wajo, seperti :

Pesan Latenri Bali, Batara Wajo I

Setetelah terbentuknya kerajaan Tellu Kajuru’na Boli, maka disepakatilah untuk mengangkat La Tenri Bali sebagai raja dari kerajaan unfikasi tersebut. Sehingga sangatlah wajar jika sosok Latenribali disebut sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan kecil di dataran Wajo saat itu . Dengan gelar Batara Wajo I, La Tenri bali mengungkapkan adagium kemerdekaan sebagai berikut :

“MARADEKA TO WAJOE TARO PASORO GAU’NA, NAISSENG ALENA, ADE’NA NAPOPUANG”1
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo itu Merdeka dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, mereka tahu diri, dan hanya adatlah yang dijadikan anutan.

Pesan Latiringen To Taba

La Tiringen To Taba, adalah salah seorang cendkiawan Wajo yang hidup pada tahun 1436 – 1521. Hidup pada pada masa-masa pemerintahan La Tenri Bali (Batara Wajo I) sampai dengan Wajo I) hingga La Mungkace To Uddamang (Arung Matoa Wajo XI). Selama 55 tahun beliau mengabdi pada Kerajaan Wajo diantaranya pada La Tenri Bali dan La Taddampare Puang Rimaggalatung (Arung Matoa Wajo IV). Beliau adalah Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo), bergelar Arung Bettengpola.

Pada tahun 1476, dibawah dua pohan asam yang berdampingan, di maklumatkanlah perjanjian yang dikenal dengan nama Mallamungpatue ri Lapadeppa. Selain menetapkan hukum pemerintahan, perjanjian tersebut juga menetapkan adek amaradekangenna to WajoE, seperti berikut :

1. Kehendak orang Wajo tidak bisa dihalangi
2. Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat
3. Orang Wajo tidak boleh dilarang pergi ke Selatan, Utara, Barat ataupun Timur
4. Jika orang Wajo hendak bepergian atau bermigrasi maka tidak boleh diatahan
5. Orang Wajo tidak berkewajiban melakukan perbuatan atau perintah yang tidak memiliki dasar hukum adatnya.
6. Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo.
7. Orang Wajo, harus senantiasa menjaga prilaku dan sopan santun.
8. Orang tidak diperkenankan melanggar hak-hak orang lain, ia harus tahu diri, dan mengenali diri sendiri, serta tidak boleh menyalahgunakan hak-hak kemerdekaan mereka.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“NAPOALLEBIRENGNGI TO WAJOE, MARADEKAE, NA MALEMPU, NA MAPACCING RI GAU’ SALAE, MARESO MAPPALAONG, NA MAPAREKKI RI WARANG PARANNA”.

Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo lebih memilih kebebasan, jujur, bersih dari prilaku buruk, ulet bekerja, dan hemat.

Perjanjian di Lapaddeppa (sekarang Lapaduppa, penulis) tersebut diprakarsai oleh Arung Saotanre yang bergelar Arung Bettengpola, salah satu …. (negara bagian) Kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua. Sepanjang masa pengabdiannya, sedikitnya 5 kali (setiap kali terjadi kekosongan pemerintahan) beliau ditawari bahkan ditekan oleh dewan adat menjadi Arung Matowa Wajo, tapi selalu ditolaknya, karena tidak mau menghianati isi perjanjian Mallamungpatue ri Lapadeppa.

Pesan Lataddampare Puang Rimaggalatung, Arung Matoa Wajo IV (1491-1521)

La Taddampare Puang Rimaggalatung, adalah salah satu cendikiawan hebat yang dimiliki oleh Kerajaan Wajo, sama dengan La Tiringen To Taba, beliau juga berkali-kali menolak untuk menjadi Arung Matoa Wajo, namun setelah berkali-kali didesak oleh dewan adapt, akhirnya pada tahun 1491 beliau dilantik menjadi Arung Matoa Wajo IV. Sumber lain mencatat, Puang Rimaggalatung sempat dua kali menjabat sebagai Arung Matoa Wajo yakni pada tahun 1482-1487, dan menjabat kembali pada tahun 1491-1521 , sayangnya penulis belum menemukan catatan tentang latar belakang dari peristiwa tersebut.

Setelah mendapatkan persetujuan dewan adat, Puang Ri Maggalatung menetapkan Hukum adat seperti berikut :

1. Harta benda orang Wajo tidak boleh dirampas.
2. Orang Wajo tidak boleh ditangkap, jika tidak terbukti kesalahannya.
3. Orang Wajo tidak boleh dihukum, jika tidak terbukti melakukan kejahatan, apalagi jika tidak mempunyai kesalahan.
4. Barang-barang atau orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas atau ditangkap, jika mereka tidak sekongkol atau seniat dengan mereka.
5. Siapa saja yang menggali lubang, maka dialah yang harus mengisinya, tidak boleh orang lain. (berani berbuat, berani bertanggung jawab, pen)
6. Orang Wajo tidak diperkenankan menyita barang orang lain, kecuali telah ada keputusan Pengadilan Adat.
7. Orang Wajo tidak diperkenankan saling menanami sawah atau kebun orang lain. (Tidak boleh mengusai tanah orang lain, pen)
8. Tidak saling memfitnah dalam hal terjadi pencurian.
9. Walaupun seorang Putra Mahkota, mengenali suatu barang miliknya yang ada ditangan orang lain, ia tidak boleh langsung mengambilnya tanpa ada keputusan Pemangku adat.
10. Orang Wajo tidak boleh saling memfitnah
11. Orang Wajo tidak boleh menyatakan sesuatu ada, padahal tidak ada.
12. Orang Wajo harus saling percaya dan bersaksi pada Tuhan Yang Maha Esa.

Butir-butir adek amaradekangeng tersebut teruntai dalam adagium :

“MARADEKA TO WAJO’E NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMI ATA, NAIA TAU MAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Mengulang ungkapan dari Puangnge Ri Timpengeng, La Taddampare Puang Rimaggalatung menambahkan asas kemerdekaan orang Wajo dengan bunyi;
“RI LALENG TAMPU’ MUPI NAMARADEKA TO WAJO’E”.
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Bahkan sejak dalam kandungan, sudah merdekalah orang Wajo

Dalam versi lain, adapula ungkapan yang berbunyi; ”MARADEKA TO WAJOEE, NAJIAJIAN ALENA MARADEKA, NAPOADA ADANNA, NAPOBBICARA BICARANNA, NAPOGAU GAU’NA, ADE’ ASSIMATURUSENGNAMI NAPOPUANG”
Diterjemahkan (oleh penulis) :
Merdeka orang Wajo, terlahir dalam kondisi sudah merdeka, mereka bebas mengutarakan pendapat, bebas berbicara, bebas berekspresi, dan hanya adatlah yang mengikat mereka.

Kesemua adagium atau ungkapan kemerdekaan tersebut, kemudian dirumuskan oleh Prof. Mr. DR. H. Andi Zaenal Abidin Farid, sebagai berikut :

ADE’ ASSIMARADEKANGENGNA TO WAJOE

Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang.
Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’.
Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.

Mallekku tenri pakke’de, tenrirappa, tenrireppung, tenrisampoate’, tenripateppai elo arung mangkau’. Naia pali’na Wajo ri to WajoE teppuppu, tenripinra, tenripaleangi.
Namua naware’ rikoangngi, naiamua napopali, nakkalukkukengngi nalao.
Namua nacappa loli risampakengngi natania napapoli nalajerengngi iarega naoppokengngi, apa ia palina Wajo ri to WajoE, pangaja.

Naia pa’bunona, pakkatuo. Apa ia to WajoE, tempeddingi riuno sangadinna gau’na mpunoi.Temppeddingtoi risalang bicaranna sangadinna gauna memeng, tutunna memeng pasalai. Tenriampa’i ri ada-adanna, iakia naita alena, naissengtoi alena.

Tennapasalaleng ammaradekangenna temppeditoi riatteang mapada eko padana maradeka. Naripatammutoi naripakedde mato narekko nattamaiwi Wajo bali, iaregga engka bicaranna teppura napuraparosokkang balie purapi repettui bicaranna nalajepaimeng nallekku paimeng. Mabbojo-wajo macekkemi to WajoE ri Wajo.

Diterjemahkan oleh Penulis :

Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun-temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pengikat.

Merdeka bagi orang adalah, ia bebas pergi kemana ia suka, ia bebas bermigrasi, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau tidak melaksanakan sebuah perintah yang tidak ada dasar hukumnya.

Harta benda dan orang-orang yang serumah dengan mereka, tidak boleh dirampas, tidak boleh dikebat, tidak boleh disita, tidak juga ikut dipertanggung jawabkan, jika tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Kehendak Raja tidak boleh dipaksakan dan ditimpakan secara mutlak kepada mereka.

Peraturan, hukuman atau kewajiban yang telah ditetapkan tidak boleh dirubah atau diganti. Namunn, peraturan, hukuman atau kewajiban sekecil dan sebesar apapun, jika tidak memiliki dasar hukum adapt, maka mereka boleh menolaknya. Karena sesungguhnya amar hukum yang berlaku di Wajo adalah nasehat. Adapun ketetapan hukum yang sesungguhya adalah ketetapan hukum pemilik kehidupan, Tuhan Yang Maha Esa. Karena, sesungguhnya orang Wajo tidaklah boleh dibunuh, kecuali ia membunuh dirinya sendiri dengan aib sebagai akibat dari perbuatannya yang tercela. Mereka, tidaklah boleh dituduh persalahkan kecuali sudah terbukti di Pengadilan, bahwa mereka melakukan perbuatan atau perkataan yang tercela.

Orang Wajo tidak boleh dilarang mengeluarkan pendapat, tapi pada diri mereka terikat ketetapan untuk tahu diri dan mengetahui batasan-batasan dari segala pendapatnya. Mereka, tidak diperkenankan menyalahgunakan kemerdekaannya. Mereka dibebaskan melakukan perjanjian atau kerjasama dengan orang merdeka lainnya.

Orang Wajo boleh ditahan ditanah Wajo, atau diperintahkan diluar hukum adat, hanya jika Wajo diserang oleh musuh atau jika mereka memiliki perkara yang belum diselesaikan di Pengadilan. Jika musuh sudah diusir dan perkara mereka sudah diputuskan pengadilan, maka mereka boleh meninggalkan negeri Wajo. Sesungguhnya orang Wajo, hanya akan merasa tentram jika tinggal ditanah Wajo.

Sungguh sebuah kearifan lokal yang sangat maknawi nan adiluhung, sangat bersebrangan dengan kondisi Wajo saat ini. Pemerintah dan Rakyat tidak lagi segendang sepenarian. Bahkan cenderung menggunkan hukum hutan rimba sebagaimana dalam ungkapan bugis kuno sianre bale tauwwe. Budaya sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, kini berubah menjadi sipakatau-tau, sipakalebbi-lebbi, dan sipakalinge-linge. Pesan leluhur untuk saling sirenreseng peru, seperti dalam ungkapan mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, kini berubah menjadi malii sipareppa-reppa, rebba sipatongko-tongko, malilu sipakalinge-linge.

Sungguh ironis, dalam lambang pemerintah kabupaten Wajo, tertulis jelas semboyang “maradeka to WajoE ade’na napopuang”. Kini, adagium itu tidaklah lebih dari sekedar coretan yang tertimbung endapan dikedalaman dua puluh tujuh (27) Kilo Meter didasar danau Tempe. Mungkin adagium yang layak kita ungkapkan sekarang adalah “maddareke’ to WajoE, matanre siri’mi nade nappau” atau “madoraka to Wajo, Andi’E-na napopuang”. Tapi apapun itu, saya tetap cinta dengan Wajo saya, seperti orang Inggris berkata “Right or wrong is my country”.

_______________________________
Catatan buat adindaku di KEPMAWA :

• Tulisan ini, tidaklah lebih dari tanggung jawab moral kami untuk meluruskan pemahaman kita tentang kearifan lokal yang kita miliki. Tentulah ironis, ketika Matthes, RA.Kern, A.A. Cence, Noorduyn, Boxer, Braam Moris, dan puluhan ilmuwan barat lainnya mengakui bahwa kearifan lokal Wajo yang terangkum dalam Lontara Sukkuna Wajo, adalah catatan sejarah terbaik yang dimiliki bangsa Asia. Tapi justru kita sebagai orang Wajo sendiri, acapkali salah memahami bahkan memaknainya.
• Insya-Allah dalam waktu dekat, kami akan segera membuat tulisan, sekedar untuk memperjelas pemahaman kita tentang :
• Siapakah sosok La Tiringen To Tabak itu sebenarnya ?
• Bagaimana konsep Siri’ dan Pesse di Wajo, mana yang lebih tinggi derajatnya diantara keduanya.
• Seperti apakah sebenarnya konsep Adek, Warik, Tuppu, Rapang, Sarak dan Jallo itu ?
• Siapakah sebenarnya kerajaan Cina tersebut, kenapa dan kapan ia berubah menjadi kerajaan Ji’ Pammana, apa hubungannya dengan kerajaan Boli dan Wajo ?
• Sudah tepatkah, konsep Sulapa Eppak yang diungkapkan oleh Ch. Pelras, bagaimana pula dengan konsep Sulapa Eppak versi Prof. Dr. Zaenal Abidin Farid ?. Khusus pada tulisan ini insya-Allah akan dibumbui dengan “pertengkaran ilmiah” antara kedua tokoh tersebut.

Di Kutip Dari:
http://alijinnah-ewako.blogspot.com

Oleh : Suryadin Laoddang
Pemerhati Budaya Wajo, tinggal di Yogyakarta

Intense Debate Comments

Intense Debate Comments - Top Commenters

"WAJO BLOGGER COMMUNITY"





weather counter



  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008 | Karjat Resorts

Back to TOP